- Home »
- Clip Of Journey , Piece Of Moment »
- 16 November
Ave Ry
On 16 November 2014
Sabtu, 16 November 2013
Mama, aku rindu...
Hari ini, genap setahun sudah kau mendahului kami.
Ahad 16 November
You went so soon
There were days when I had no strength to go on
I felt so weak and I just couldn’t help asking: “Why?”
I’ll try to take it all, even though it’s so hard
I see you in my dreams but when I wake up you are gone
I have to move on ’cause I know it’s been too long
I’ve got to stop the tears, keep my faith and be strong
But I got through all the pain when I truly accepted
That to God we all belong, and to Him we’ll return
You left so soon
“Ma, aku ke Bogor dulu ya, hanya sebentar”. Tidak ada kata hanya anggukan lemah..
Sepagian aku menuju tempat dimana rinduku membuncah selama lebih dari sebulan. Tak bisa kuceritakan betapa ingin aku berada ditengah-tengah shalih-shalihah yang selama ini telah memikatku kedalam taman surganya.
Kesempatan pagi yang kupaksakan setelah lama menjelang aku tak kuasa menyambanginya. Entah mengapa keinginan itu begitu kuat. Berminggu tangan itu menarikku, mengucapkan kalimat bening bernada memohon “Ai mau kemana... jangan tinggalin mama. Mama mohon,” minggu demi minggu sungguh tak kuasa ku melepaskan. “Mama kan disini ada Papa, Diah, ada kak Depi, ada Uwa ada banyak orang disini Ma. Aku pergi sebentar aja ya Ma”. Mashaa Allah, wajah itu merengut. Dan siapakah ia yang akan mampu meninggalkan hatinya seperti itu?
“A, Ba, Ta, Tsa... ya begitu” senyumku disamping ibu yang tengah bersusah-payah melantunkan huruf hijaiyah sembari mengarahkan kacamatanya pada buku Iqro lama. Bersandar ia, lelah “Ah susah... sekarang hafal besok lupa” keluhnya. “Gak apa, asal setiap hari nanti pasti bisa”, masih senyumku menyemangati. Terkadang aku tergelitik untuk tertawa demi mendengar pengucapannya yang salah. Namun tak pernah ku keluarkan tawa itu. “Mama lihat aku dulu, nanti mama ikuti”. Begitu, waktu demi waktu.
Dan di suatu sore yang penuh berkah ia bersandar kembali setelah lelah melafalkan huruf-huruf yang telah banyak dihafal namun semakin banyak pula yang dilupakannya. Ia menatapku, dengan sayang ia bertanya entah kepada siapa karena pandangannya menembusku, “Gimana kalau gak ada...”. Tentu saja aku tahu apa maksud pertanyaan itu. “Bagaimana kalau kamu gak ada Ai, Mama belajar sama siapa?” tapi ternyata... aku terlalu bodoh untuk bisa mengartikan, “Bagaimana kalau Mama gak ada, siapa yang akan kamu ajari Ai?”
Dilain waktu, saat sakitnya meraja hingga membuat ibu tak mampu lagi beranjak dari tempat tidur ia memandangiku, “Kamu capek ya? Mengurus Mama”. Capek? Mana mungkin ada seorang anak yang capek mengurus ibunya yang tengah sakit? Padahal dulu ibunya bertaruh nyawa demi mempertaruhkan kelangsungan hidup anaknya. Namun aku tak pandai berkata-kata, sebagai ganti ucapan kuberikan senyum, kupandangi ia, kuciumi, kuusap kepalanya.
“Ai kamu gak ikhlasin Mama sih”, tersentak aku dengan perkataannya. Setelah ramai tetangga, teman dan para handai taulan menjenguk. Aku memberengut. Kata-kata itu menyengatku! Aku benci kata itu, sungguh! Manakah ada seorang anak yang mengikhlaskan ibunya pergi?!
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, JIWA dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"
Seperti aku tak pernah membaca ayat ini sebelumnya... Hujamannya saat itu telak menikam. Aku menangis tersedu. Allah, IA berbicara kepadaku!
Kupandangi ia, ibuku yang sangat kucinta. Sore itu, saat ia tak lagi mampu berbicara, mengenal bahkan menerima suapan obat. Kupeluk erat, di belakang bahunya. Seperti yang selalu ingin dilihatnya. Ketika dulu ia masih mampu berbicara, “Ai gak sayang sama Mama.. Kamu gak pernah nangis. Mata kamu terbuat dari batu apa?!”
Rabbi, hanya Kau-lah yang mengetahui saat itu derai air mata tak mampu kubendung lagi. Ia yang kutahan berbulan-bulan, demi menjaga semangat ibuku karena aku ingin ia kuat maka akupun harus kuat. Tak ingin kutampilkan pedih mata dihadapannya. Namun sore itu, ya sore itu, setelah ramai sanak saudara pergi. Kupeluk ia erat yang tengah terlelap menyamping. Dipunggungnya, basah tangisku kuharap mampu meredam isak suara yang tak jua mereda.
“Ma, aku ke Bogor dulu ya, hanya sebentar”. Tidak ada kata hanya anggukan lemah..
Saat itu aku sudah bersiap setelah kupastikan ibu ada yang menemani, pikirku toh hanya sebentar. Ku mohon izinnya, pamitku “Ma, aku ke Bogor dulu ya, hanya sebentar”. Tidak ada kata hanya anggukan lemah.. Ia tak mampu lagi berkata, namun anggukan itu melegakanku. Alhamdulillah, ibu sudah memberi izin. Akhirnya pagi itu antara perasaan senang bisa pergi ke rumah kedua-ku, Masjid Raya Bogor dan cemas mengkhawatirkan ibuku.
Entah apa pula yang merasuki-ku kala itu. Berpagi aku sudah menuju. Pikiranku terbelah, do’a yang dilantunkan bersama sahabat tidak juga bisa membuatku tenang. Kemudian telepon genggamku berdering, “Kak, pulang kak” lantas mati. Jantungku berdegup kencang, namun ku hentikan aktifitas pikirku. Aku mohon izin untuk pulang lebih dulu dari yang lain. Di jalan papa menelepon, “Nak, pulang sayang. Sekarang” sungguh, aku benar-benar mematikan pikirku. Aku bergerak laksana mayat hidup.
Mengapa angkutan ini lama sekali! Mengapa kereta tak juga kunjung datang. Ditengah menggilanya perasaanku, kakak menelepon, berulang “Ai... Mama Ai...” Klik, kumatikan!
Berlarian aku menuju rumah, adikku, si bungsu menjemput mengambil alih tas.
Rabbi....
Ia disana, ibuku terbaring tak lagi bernyawa. Ditengah hilir mudik tetangga yang sibuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Mungkin tak pernah, dan memang tak pernah dan kuharap tak akan pernah. Tangis yang begitu mengguncang. Allah, Allah, Allah... jiwaku bertalu-talu, Allah, Allah, Allah. Kamu belum zhuhur Ai! Sadarku memperingati.
Kubasahi wajah berwudhu, dan tak pernah, kurasakan zhuhur yang begitu berat. Takbir, ruku’ dan sujud berbasah mengguncang seluruh tubuhku.
“Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah... Irji’ii ila Robbiki rodhiyatam mardhiyyah, fad khuli fii ‘ibadi wad khuli jannati...”
Kalimat itu, Wallahi... Kulantunkan dengan harapan, Allah, Yang Memiliki fajr juga meng-Kalam-kan ayat yang sama, kepadamu ibuku.
Sabtu 15 November 2014
“Nak, kamu gak ke Bogor?” Papa membuka percakapan pagi tadi. “Gak Pa”, jawabku singkat.
Sepagian aku menuju warung penjual sayur. Berbelanja lantas memasak, berbenah. Aku bingung hendak melakukan apa. Jiwaku tidak bergerak kemanapun jua. Semua rencana yang telah kususun, acara yang akan kudatangi tidak menarik minat hati.
Mama, aku rindu...
Hari ini, genap setahun sudah kau mendahului kami.
Ahad 16 November
You went so soon
There were days when I had no strength to go on
I felt so weak and I just couldn’t help asking: “Why?”
I’ll try to take it all, even though it’s so hard
I see you in my dreams but when I wake up you are gone
I have to move on ’cause I know it’s been too long
I’ve got to stop the tears, keep my faith and be strong
But I got through all the pain when I truly accepted
That to God we all belong, and to Him we’ll return
You left so soon
semoga amal ibadahnya di terima di sisi Allah SWT.
BalasHapusAku tururt mendoakan kak.
sabar ya.
aku jga kehilangan bapak sedh bgd. tapi jangan di foto spt itu kak
aku makin sedih....